CINTA BERSUSUN

Cinta Bersusun
Oleh Siti Fatichatus Sarifah

“Jadi kamu mantannya Ni’am juga, Rin?” teriakku pada Ririn.
“Dua bulan aja sih.”
“Kapan?”
“Juli kemarin sampe bulan sembilan.”
“Hah? Serius?”
***
Entahlah, makhluk apa yang hinggap pada Ni’am sehingga malam sehabis api unggun itu dia mengatakan masih mencintaiku. Herannya, kenapa mantanku yang satu ini datang di saat aku sudah gak minat padanya. Walaupun sebenarnya paras Ni’am memang bukan kelas yang mudah dilupakan, selalu pantas untuk pameran, ajang unjuk pacar pada teman-teman. Apalagi untuk calon mahasiswa yang tinggal tunggu pengumuman SNMPTN, sepertinya gak pantas banget kalau jomblo. Tapi ya tetap saja tak bisa dipaksa perasaan ini.
Rupanya hati manusia bukan baja yang tak mungkin tertembus. Hari pengumuman itu tiba. Kabar baik untukku saat pilihan pertamaku tembus, rasanya lebih bahagia dari menang lotre seribuan.
Gimana hasil SMNPTN-mu, Sar?
SMS Ni’am lebih cepat datang dari yang kubayangkan.
Keberuntungan sedang berpihak :-), kamu?

Sebenarnya aku cuma punya dua harapan saat ini, tapi harapan pertamaku dapat tempat kuliah udah gagal :-(.

Lagi? Tetap semangat, Am! Emang harapan kamu satu lagi apa?

Aku pengen dapat tempat di hati kamu, aku harap ini tidak gagal lagi.
Aku tak bisa membalas SMS dia kala itu. Menurutku tidur adalah jalan keluar paling ampuh. Kasihan kalau Ni’am harus kecewa lagi setelah kegagalan kursi kuliah tahun keduanya. Sosok putih, tinggi, dan manis itu sayang kalau ditolak begitu saja. Tapi, tingkah cueknya di masa lalu benar-benar mengganggu memoriku. Andai aku bisa amnesia sejenak tentang memori setengah tahun yang lalu pasti tak perlu pikir panjang, apalagi galau untuk menerimanya. K-a-s-i-h-a-n, rupanya kata itu yang memenangkan laga galauku.
Udah tidur, Sar? Maaf ya aku sudah minta yang berlebihan.
Buru-buru SMS dia kubalas, padahal rencananya tak ingin kuingat lagi SMS-nya.
Kamu bisa janji satu hal?

Apa pun itu.

Aku tak ingin kamu secuek dulu, deal?

Makasih, Beb.
***
“Kita buka bersama di SMA bulan Agustus kan, Rin?” tanyaku memastikan.
“Yups, kita sepanitia dengan Ni’am.”
“Ni’am memang tampan dan pintar.”
Merah padam hatiku teringat akan masa buka bersama yang seharusnya penuh berkah Ramadhan. Cinta memang pemaaf, bahkan pada kesalahan yang seharusnya tak termaafkan. Sesuatu yang kukira profesionalitas ternyata pembohongan publik, rekayasa cinta kalau judul lagu.
***
“Beb, nanti berangkat sendiri-sendiri aja ya?” pria bertubuh gagah itu membujukku.
“Kenapa? Kamu udah di sini, tinggal berangkat aja kenapa gak bareng sekalian?”
“Aku harus jemput Eko, dia gak ada motor.”
“Eko lagi deh,” bibirku yang tipis tak terlalu maju untuk manyun.
Sekegiatan, sepanitia, dan sedivisi, berangkat bersama pun tidak bersama. Rasanya menyebalkan sekali. Tapi apalah daya wanita yang ukuran tubuhnya mini ini, tak mungkin menyaingi sosok tinggi besar itu. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku ikhlas berangkat sendiri, nyetir sendiri, dan membawa kebutuhan kepanitiaan sendiri. Setidaknya rasa kesalku terobati ketika adzan Magrib tiba dan kami berbuka bersama. Sendok yang dipegangnya tak lupa menjenguk mulutku yang rindu kasih sayangnya. Luluh sudah seorang wanita.
Tiba acara malam kekraban yang mengundang seluruh peserta dan panitia dalam satu ruangan. Tentu aku tak membiarkan tanganku lepas dari Ni’am.
“Kamu di sini juga, Rin?” sapa Ni’am pada Ririn sembari melepaskan kemesraannya padaku.
“Tumben kalian bareng?” respon Ririn.
“Iya, Rin. Ni’am nih dari tadi nempel terus.”
“Bohong tuh Sari, gak sengaja tadi bareng.”
“Oh iya, Am, sekarang udah jam 9 nih, kita kan diminta ambil lauk untuk sahur nanti, keburu malam lo,” tiba-tiba aku teringat akan kewajibanku sebagai divisi logistik.
“Iya, Sar. Rin, aku keluar dulu ya dengan Sari,” pinta Ni’am pada Ririn.
“Jalan aja,” celetuknya singkat.
“Ih, kamu gak penting banget sih Beb pake izin ke Ririn segala. Aku yang sohiban sama dia aja gak pake izin,” serangku setelah agak jauh dari Ririn.
“Daripada nanti ada yang cari kita gak ada yang tahu, hayo.”
“It’s okay.”
***
Aku dan Ririn tak henti-hentinya mengingat kebodohan kami di malam itu.
“Empat tahun sahabatan bukan waktu yang sebentar kan Rin untuk mengenal dan terbuka satu sama lain?” tanyaku gemas.
“Itu sih memang Ni’am yang terlalu pandai jadi kelinci.”
Rupanya Ni’am memang pemain kelas dunia yang mampu mengelabuhi dua orang karib sekaligus. Dalam waktu yang sama. Bagaimana tidak, bulan Juli yang dikatakan Ririn sebagai hari jadinya dengan Ni’am adalah bulan pengumuman SNMPTN yang membuatku jadian dengan Ni’am pula. Bedanya, Ririn mengakhiri semuanya setelah dua bulan dan aku masih terjerembab hingga satu tahun berlalu. Lebih parahnya lagi adalah baru sekarang si karib itu sadar kalau keduanya pernah digandeng bersamaan, setelah keduanya tak berstatus dengan Ni’am.
“Ni’am udah dapat cewe baru.”
“Aku malah baru dengar dari kamu ini, Sar.”
“Soalnya aku ketemu langsung seminggu yang lalu. Namanya Silva setelah kuusut ke berbagai pihak.”
“Gimana mereka ketemu?”
“Nah itu yang bikin jengkel, mereka ketemu di kereta karena waktu itu aku minta Ni’am nemuin aku di kampus, sekalian dia kusuruh ikut latihan ujian tahun ini.”
“Jadi, kamu sendiri yang mengantar pacarmu pada selingkuhannya?”
“Terima kasih lo ya atas pertanyaan sadisnya, masih mau sahabatan gak nih?”
“Iya iya, maaf. Sekarang di mana cewe itu?”
“Dia di Kalimantan. Eh, hari ini Silva datang dari Kalimantan, pasti dia langsung ke tempat Ni’am. Kita bisa selamatkan gadis itu, Rin.” ajakku pada Ririn, berharap tak ada lagi korban Ni’am.
“Oke.”
Setibanya di tempat Ni’am, aku bersemangat sekali.
“Sil, Ni’am gak cocok buat kamu. Percuma kamu putusin Dion untuk Ni’am, mereka sama aja.”
“Dion? Putus? Kakak-kakak yang manis, terima kasih telah mengingatkan, tapi saya dari dulu jadian dengan Kak Ni’am, bukan Dion. Hubungan kami sudah berjalan satu setengah tahun dan kami gak pernah putus. Aku juga tahu, Kak Ni’am dekat dengan kalian, bersama di bulan Juli. Itu Cuma permainan karena Silva-lah muara terakhir Kak Ni’am,” sinis bibirnya membuatku tak mengerti harus berbuat apa.
Seringai di wajah gorila Ni’am setelah injakan dari mulut Silva itu benar-benar membuatku ingin mengeluarkan jurus naga api, tapi aku bukan tokoh kartun yang bebas berhayal. Ini kehidupan nyata yang tak bisa bebas kusetiri. Cukup satu Ni’am dalam riwayatku.
Meski sebegitu terluka, hanya satu hal yang tersisa dalam hatiku dan Ririn: tanda tanya.

Kritik dan Saran yang membangun ^_^!